Indonesia, negara maritim dengan wilayah laut yang lebih luas daripada daratannya dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Penjelasan di atas terlalu mainstream? Ya, memang benar jadi mari saya coba agar tidak terdengar terlalu mainstream. Indonesia memiliki luas wilayah laut sekitar 64,97% dari total seluruh wilayah Negara itu sendiri, apabila menurut data dari kementerian kelautan dan perikanan bahwa jumlah total luas wilayah daratan Indonesia adalah 1.910.931,32 km2 maka jumlah total luas wilayah laut Indonesia adalah seluas 3.544.743,9 km2 (UNCLOS 1982) dengan rincian luas laut teritorialnya seluas 248.210,90 km2, luas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 2.981.211,00 km2, dan luas laut 12 milnya sebesar 279.322,00 km2. Dengan wilayah lautan yang sangat besar dan luas tersebut barang tentu terdapat bermacam-macam jenis satwa laut yang unik dan memiliki keanekaragaman serta daya jual yang sangat tinggi apabila dimanfaatkan dengan maksimal oleh setiap nelayan yang ada. Namun sayangnya banyak nelayan-nelayan dari negara tetangga kita yang “usil” mengganggu dan melewati batas wilayah negara kita tercinta ini hanya untuk “mengambil” harta bawah laut kita yang melimpah. Namun, apalah daya kata melimpah jika terus menerus diambil dengan sangat tidak bijaksana bukan hanya oleh masyarakat sendiri namun juga oleh “tetangga” kita dan tentunya tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai illegal fishing.
Apa itu illegal fishing? Illegal fishing sendiri menurut International Plan of Action (IPOA) adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara tertentu atau kapal asing di perairan yang bukan merupakan yuridiksinya tanpa izin dari negara yang memiliki yuridiksi atau kegiatan penangkapan ikan tersebut bertentangan dengan hukum dan peraturan negara itu. Nah seperti yang telah disebutkan di paragraf sebelumnya bahwa Indonesia sudah barang tentu menjadi target penangkapan ikan illegal yang dilakukan oleh negara-negara tetangga (neighboring countries), maka akhirnya diberlakukan lah revisi terhadap UU No.31/2004 tentang perikanan menjadi UU Pasal 69 Nomor 45 Tahun 2009 terkait penyidikan atau pengawasan perikanan Indonesia ayat (1) dan (4) yang berbunyi, ayat (1) “Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia“. Adapun, ayat (4) berbunyi, “Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana ayat (1) penyidik dan atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup”. Dari pasal di atas maka jelaslah sudah bahwa pengawas perikanan dapat memberikan sanksi berupa pembakaran maupun penenggelaman kapal-kapal asing yang telah melakukan penangkapan ikan secara illegal di wilayah Indonesia.
Adapun informasi yang didapat pada tanggal 22 Februari 2016 lalu, setidaknya 30 kapal asing yang ditenggelamkan dan dipimpin langsung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, selaku komandan Satgas 115 pada lokasi yang berbeda seperti di Pontianak, Kalimantan Barat, ada 8 kapal Vietnam. Kemudian di Bitung, Sulawesi Utara, ada 10 kapal (enam Filipina, empat Indonesia). Lalu di Batam, Kepulauan Riau, ada 10 kapal (tujuh Malaysia, tiga Vietnam). Kemudian Tahuna, Sulawesi Utara, ada 1 kapal Filipina dan yang terakhir di Belawan, Sumatera Utara, ada 1 kapal Malaysia yang semuanya ditenggelamkan secara serentak. Penenggelaman kapal pelaku illegal fishing mengacu pada Pasal 76A UU Nomor 45/2009 tentang Perubahan Atas UU No 31/2004 tentang Perikanan, yaitu benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan Ketua Pengadilan Negeri. So, sebenarnya sanksi terhadap penangkapan ilegal sendiri sudah tercantum secara resmi dalam UU dan sudah sangat jelas maksud dan tujuan dari UU tersebut dibuat. Namun yang menjadi permasalahannya adalah apakah tindakan penenggelaman tersebut pantas dilakukan atau tidak?
Penenggelaman kapal asing yang melakukan ilegal fishing tentunya harus dilakukan karena dapat mengakibatkan shock therapy bagi nelayan-nelayan negara lain yang juga memiliki niat untuk melakukan illegal fishing, dan juga penenggelaman kapal asing tersebut tentunya juga harus mengutamakan keselamatan para nelayannya dahulu. Apabila Indonesia membiarkan kapal asing yang melakukan illegal fishing sudah sepatutnya kerugian akan datang menghantui Indonesia disebabkan menurunnya jumlah komoditi perikanan akibat pencurian, belum lagi beberapa kapal tersebut melakukannya dengan menggunakan pukat harimau, pukat dasar dan ada pula yang menggunakan bom lalu ujung-ujungnya kembali lagi kepada permasalahan perusakan lingkungan dasar laut. Pemerintah {ndonesia sendiri melakukan penangkapan dan penenggelaman kapal asing yang tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) saja dan sudah sangat jelas dengan adanya surat izin tersebut bahwa harus diperlukan SIPI untuk melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia kecuali kapal yang memiliki bobot sebesar 5 GT dan atau dengan mesin sebesar tidak lebih dari 10 PK. Hal di atas membuktikan bahwa negara kita tercinta, Indonesia, sangat mendukung adanya sikap anti illegal fishing di wilayah Indonesia dengan adanya pemberlakuan UU yang sudah jelas mengatur tentang hal tersebut.
Akhir kata yang dapat penulis simpulkan adalah bahwa tindakan illegal fishing sudah jelas merugikan negara yang bersangkutan baik dalam hal keanekaragaman hayati, ekosistem, maupun perekonomian negara tesebut dan penenggelaman maupun pembakaran kapal asing yang masih “membandel” tentunya sangat baik untuk memberikan shock therapy terhadap nelayan-nelayan dari negara lain agar tidak melakukan illegal fishing pada wilayah NKRI namun juga dengan melakukan followed up berupa peringatan-peringatan kepada negara yang nelayan-nelayannya telah melakukan penangkapan ikan secara ilegal agar mengawasi dan menjaga nelayannya agar tidak “mencuri” lagi. Kemudian kebijakan dari pemerintah inipun saya rasa juga telah menyelamatkan kesejahteraan nelayan-nelayan kecil Indonesia yang mencari ikan sehingga ikan dan kekayaan laut lainnya tidak berkurang secara drastis. Akhir tanda ketikan kecil saya adalah semoga illegal fishing di Indonesia akan berkurang atau malah menghilang pada tahun-tahun kedepannya dengan adanya kebijakan ini dan nasib para nelayan Indonesia menjadi lebih sejahtera dalam kehidupannya. Salam Sahabat Nelayan dengan tulisan pada 26 Maret 2016.
Jales Viva? Jaya Ksk!
- Author : Herdin Surya Dwi Putra (DXVI)
©Divisi Media dan Informasi KSK Biogama 2016