Pada hari Minggu, 8 September 2024, Kelompok Studi Kelautan (KSK) Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada sukses menyelenggarakan kegiatan Forum Kajian Kelautan (FKK) yang kedua tahun 2024 bertema “Maraknya Pembangunan dan Eksploitasi Lahan: Bagaimana Masa Depan Mangrove Kita?”. Kegiatan tersebut dilakukan secara luring di Auditorium Biologi Tropika Fakultas Biologi dan daring melalui Zoom Meeting. Kegiatan tersebut mengundang narasumber, yakni Muhammad Yusuf, S. Hut., M.Si. dari KKP Republik Indonesia, Beja, S.TP., dari DLHK DIY, dan Dyahning Retnowati, S.Hut., M.Sc. dari BKSDA DIY. Selain dari anggota internal KSK Biogama, kali ini FKK #2 juga banyak mengundang praktisi serta organisasi yang memiliki fokus di bidang mangrove.
Kegiatan diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, Hymne Gadjah Mada, Mars Fakultas Biologi, dan Mars KSK Biogama. Kemudian dilanjut dengan sambutan oleh Nurhayati selaku ketua panitia dan Muhammad Ariq Alfito selaku ketua KSK Biogama. Dilanjutkan dengan sambutan pembina KSK Biogama, Abdul Razaq Chasani, Ph.D., dan yang terakhir sambutan dari Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, Kerja sama dan Alumni, Dr. Eko Agus Suyono, M.App.Sc.
Memasuki acara inti, yaitu pematerian dari masing-masing narasumber mengenai tema FKK dari masing-masing perspektif instansi narasumber. Setelah itu dilakukan Sesi Diskusi #1 tentang Peran dan Manfaat Mangrove antara moderator dan narasumber serta tanya jawab dengan audiens baik luring maupun daring. Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Muhammad Yusuf, S.Hut, M.Si., menuturkan bahwa dalam penyusunan RTR (Rancangan Tata Ruang), kawasan mangrove harus masuk dalam kawasan dilindungi seperti KEE agar aman. Pak Yusuf juga menerangkan bahwa mangrove yang telah terkonversi menjadi tambak tidak dapat dikembalikan karena memerlukan banyak uang. Beliau menyebutkan bahwa sinergisitas pengelolaan mangrove antara pemerintah pusat dan daerah masih kurang. Padahal, penanaman dan konservasi mangrove bisa memberi dampak pada ekosistem dan masyarakat. Menurut beliau, kelemahan pengelolaan mangrove di Indonesia terletak pada sistem perencanaan yang semrawut. Di samping itu, penting untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat yang dapat ditimbulkan dari alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak udang meskipun ada potensi ekonomi yang besar.
Forum dilanjutkan dengan Sesi Diskusi #2 tentang Kondisi Mangrove di Indonesia. Dalam diskusi ini, Penyuluh Kehutanan Madya DLHK Yogyakarta, Beja, S. TP., mengonfirmasi bahwa mangrove yang berada di dalam sultan ground sudah diakui sebagai KEE. Sehubung dengan kebijakan ini, diperlukan adanya koordinasi, pemahaman mendalam tentang peraturan yang berlaku, dan dukungan dari berbagai pihak untuk memastikan keberlanjutan ekosistem mangrove bagi masyarakat. Sementara itu, dalam menyikapi polemik proyek pemerintah pusat yang mengancam ekosistem mangrove, Pak Yusuf berpendapat bahwa pemerintah tidak bisa memuaskan semua orang sehingga pengambilan keputusan atas suatu proyek dipertimbangkan menurut proyek yang lebih menguntungkan untuk masyarakat. Dalam masalah ini, beliau mengatakan bahwa mangrove dapat dibangun lebih luas pada lokasi lain.
Terkait kejelasan otoritas lembaga pemerintah dalam mengelola konservasi, Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Yogyakarta, Dyahning Retnowati, menerangkan bahwa Undang-Undang Konservasi nomor 5 tahun 1990 telah direvisi pada Bulan Agustus. Dalam Undang-Undang tersebut, tidak ada tumpang tindih antara kewajiban KKP dan KLHK. Meskipun begitu, peraturan turunan seperti peraturan pemerintah setempat tetap diperlukan.
Kemudian, dilaksanakan Sesi Diskusi #3 tentang Kebijakan Ekosistem Mangrove, Bu Dyah menjelaskan bahwa di Daerah Istimewa Yogyakarta, Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) telah ditetapkan melalui SK Gubernur pada tahun 2022. Namun, implementasinya masih menghadapi berbagai kendala dan tantangan sehingga diperlukan inisiator untuk menggerakkan pelaksanaannya.
Terkait pembagian regulasi mangrove antara KKP dan KLHK, Pak Yusuf menyampaikan bahwa di tingkat pusat, KLHK sedang menyusun RPP Mangrove. Selain itu, Pak Yusuf juga menekankan pentingnya penyusunan Rencana Zonasi (RZ) yang harus diketahui oleh setiap pemangku kebijakan untuk pengelolaan mangrove yang lebih baik. Menanggapi hal tersebut, Bu Dyah berpendapat bahwa diperlukan adanya Peraturan Desa (Perdes) tentang mangrove. Ketiadaan peraturan turunan di tingkat desa menyebabkan kurangnya perhatian masyarakat terhadap konservasi mangrove, sehingga upaya pelestarian mangrove menjadi sulit dijalankan.
Lalu terakhir yaitu sesi Diskusi #4 tentang Restorasi Ekosistem Mangrove, Pak Beja menjelaskan bahwa program penanaman mangrove yang berjalan saat ini masih belum disertai dengan monitoring. Namun, mulai tahun 2024, akan ada program keberlanjutan yang mencakup monitoring dan pemeliharaan untuk memastikan efektivitas penanaman.
Menanggapi hal ini, Pak Yusuf menekankan pentingnya pendataan dan pemetaan lokasi penanaman agar penanaman mangrove dapat dilakukan dengan lebih efektif. Terkait pembibitan mangrove, DLHK saat ini belum memiliki lahan permanen untuk pembibitan dan masih bekerja sama dengan pihak lain. Pak Yusuf menambahkan bahwa desentralisasi pembibitan mangrove sangat diperlukan karena biaya transportasi bibit dari daerah lain cukup tinggi. Oleh karena itu, diharapkan setiap daerah di Indonesia memiliki tempat pembibitan mangrove sendiri. Selain itu, Pak Yusuf juga menyampaikan bahwa target penanaman mangrove seluas 1.800 hektar yang ditetapkan oleh KKP telah tercapai.
Rangkaian Forum Kajian Kelautan #2 diakhiri dengan sesi pembacaan aspirasi yang sebelumnya dijaring dari audiens melalui website Slido, pembacaan kesimpulan, pemberian kenang-kenangan, serta dokumentasi.