Indonesia adalah Negara yang kaya raya. Siapa yang tidak tahu akan hal itu? Negara dengan salah satu garis pantai terluas di dunia dengan total garis pantainya sepanjang 99.093 kilometer ini mempunyai keanekaragaman hayati yang luar biasa besarnya. Sebagai contoh nya saja, di dunia ada 7 spesies penyu, dan 6 spesies di antaranya ada di Indonesia. Hebat bukan? Tentu saja karena 6 spesies penyu tersebut adalah Penyu hijau (Chelonia mydas), Penyu sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu lekang (Lepidochelys olivacea), Penyu belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu pipih (Natator depressus) dan Penyu tempayan (Caretta caretta). Namun naas, hidup penyu-penyu di laut Indonesia kita tercinta ini telah menghadapi ancaman. Pasalnya, perdagangan daging penyu kian marak di masyarakat kita. Perdagangan penyu tidak hanya karena alasan ekonomi akibat pemenuhan kebutuhan, melainkan sudah menjadi tradisi turun-temurun dalam masyarakat. Tak hanya daging penyu yang di perjual belikan, namun juga cangkang dan telurnya. Dagingnya dijual dengan harga Rp30.000/tumpuknya. Sedangkan untuk telurnya Rp20.000/tumpuknya. Cangkangnya pun dijual hanya sekedar untuk dijadikan hiasan semata. Padahal siklus bertelur penyu yang notabenenya adalah 2-4 tahun sekali sudah termasuk lama. Penyu akan kembali ke pantai kira kira 4-7 kali untuk meletakkan telurnya dalam lubang yang telah digali. Setelah masa inkubasi, tukik (bayi penyu) akan merayap ke laut. Dari 1000 tukik yang kembali ke pantai, kemungkinan hanya ada 1 tukik yang akan tumbuh sampai menjadi penyu dewasa dan melanjutkan siklus bertelur semacam tadi.
Berdasarkan fakta yang ada di atas perdagangan penyu sulit dihentikan karena beberapa faktor antara lain, daerah penangkapan dan perdagangan terhadap daging, telur, serta cangkang penyu tersebut dilakukan pada daerah terpencil. Seperti di Kepala Burung Irian (sekitar Sorong), Sulawesi Selatan (daerah Takabone Rate), Maluku dan Nusa Tenggara. Selain di Bali, khususnya Kabupaten Badung (Denpasar), pembantaian penyu juga terjadi di kota-kota lain, seperti Manado, Ambon dan Ujung Pandang (Makasar). Masalah lain adalah karena jauhnya lokasi perdagangan dan penangkapan, kurangnya aparat keamanan, serta kurangnya sarana dan prasarana dalam pengawasan. Akibat kurang efektifnya pengawasan dan pengendalian menyebabkan masih terjadi pemanfaatan sumber daya dari penyu tanpa diikuti dengan upaya pelestariannya yang sepadan.
Pemerintah sudah mengatur dalam Undang Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pelaku perdagangan (penjual dan pembeli) satwa dilindungi seperti penyu itu bisa dikenakan hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta. Tidak hanya itu, hal ini juga diatur dalam Peraturan Pemerintah no.7 tahun 1999 tentang Pengawetan jenis Tumbuhan dan Satwa dan juga dunia International yaitu Appendix I CITES.
Mengacu pada peraturan pemerintah dan peraturan dunia yang sudah disebutkan sebelumnya, saya dapat menawarkan beberapa solusi untuk masalah ini. Yang pertama adalah penyuluhan dan pencerdasan masyarakat di daerah penangkapan dan penjualan penyu. Masyarakat bisa diberikan pemahaman tentang penurunan drastis populasi penyu akibat penangkapan dan perdagangan liar secara besar-besaran dan berlangsung lama dan berkelanjutan, serta dampaknya terhadap penurunan keanekaragaman hayati di Indonesia. Lalu bagaimana keaadaan ekonomi masyarakat setelah tidak memperjualbelikan penyu? untuk menstabilkan keadaan ekonomi masyarakat sekitar agar tidak menangkap dan menjual penyu lagi, masyarakat dapat kita sarankan untuk beralih pada pembudidayaan komoditi yang masih melimpah, ikan contohnya, lalu menjualnya. Mengapa harus pembudidayaan? Karena jika hanya menangkap dan menjual ikan tanpa melakukan pembudidayaan, dampaknya akan sama dengan penangkapan liar yang mengakibatkan penurunan populasi ikan secara drastis dan mengancam punah spesies ikan yang ditangkap dan menyebabkan ketidakstabilan ekosistem tempat penangkapan ikan. Dengan begitu masyarakat tidak akan kehilangan mata pencahariannya dan ekosistem laut di daerah tersebut tetap terjaga kestabilannya.
Lalu bagaimana kabar penyu tadi? Penyu adalah tipe hewan yang sangat sensitif saat akan dan sedang memasuki masa bertelur. Penyu dalam keadaan tersebut membutuhkan situasi tenang tanpa adanya gangguan cahaya dan kebisingan. Karena jika terdapat cahaya dan suara yang mengganggu, penyu akan pergi dan mencari tempat yang diannggap sesuai untuk bertelur. Sehinga kita perlu menyediakan tempa untuk penyu bertelur, yaitu pantai yang tenang dan jarang dikunjungi orang. Pantai tersebut bisa kita jadikan tempat konservasi penyu dan tukiknya.
Maka kita sebagai warga Negara Indonesia sepatutnya menjaga keanekaragaman hayati yang telah dianugerahkan Yang Kuasa. Adapun cara-cara yang bisa kita lakukan, antara lain melakukan penjagaan terhadap satwa yang sudah terancam punah serta mengusahakan agar populasinya tidak punah. Lalu sebagai mahasiswa, apa yang dapat kita lakukan? Sebagai mahasiswa biologi kita telah dibekali dengan ilmu pengetahuan tentang keanekaragaman hayati dan cara menjaganya. Maka, sepatutnya aksi nyata yang dapat kita lakukan adalah memberikan penyuluhan masyarakat sekitar pantai tentang urgensi ancaman menurunnya populasi penyu dan menuntu pemerintah untuk mempertegas pemberian sanksi terhadap pelanggaran atas undang-undang perlindungan satwa yang telah dibuat, agar tidak hanya menjadi omong kosong belaka. Sekian kicauan kecil dari Sahabat Nelayan ini. Semoga bisa memberikan sedikit pencerahan untuk keberlangsungan kelautan Indonesia. Jales Viva? Jaya KSK!!
- Author : Shafira Arini Sundari (DXVI)
©Divisi Media dan Informasi KSK Biogama 2016