Selamat pagi, siang, malam, kapanpun Anda membaca tulisan ini. Perkenankanlah saya sedikit banyak mengutarakan keadaan kelautan Indonesia, dalam pandangan saya, semakin asik untuk diperbincangkan, kali ini terkait dengan komoditas laut yang tergolong mewah: kepiting, rajungan, dan lobster.
Setelah sebelumnya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kontroversional, mulai dari penghentian sementara (moratorium) perizinan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2014); tidak ada lagi praktik transhipment atau bongkar muat barang di tengah laut (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57/Permen-KP/2014); dan kebijakan penyidikan atau pengawasan perikanan Indonesia yang sampai sekarang masih menjadi topik hangat karena pemberantasan illegal fishing yang dilakukan oleh kapal eks asing, tidak lama telah dikeluarkan PERMEN Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2015 tentang larangan penangkapan kepiting, rajungan, dan lobster bertelur.
Kebijakan tersebut tentu saja seperti kebijakan-kebijakan sebelumnya, tetap menuai kontroversi. Dilihat dari sudut pandang, katakan saja “pengusaha”, ataupun nelayan yang menjadikan hewan-hewan aquatic nan ekonomis tersebut sebagai ladang mencari nafkah, kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan yang satu ini dapat menghambat ladang nafkah mereka. Namun selain itu, kebijakan tersebut mempunyai tujuan yang amat jelas: menghentikan eksploitasi terhadap kepiting, ranjungan, dan lobster yang notabenenya merupakan komoditas “mewah” yang semakin menurun.
Ya, tanpa disadari ketiga komoditas tersebut telah dieksploitasi secara berlebihan, bukan hanya individu dewasanya tetapi juga anakannya. Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti sendiri mengatakan bahwa, dulu lobster dari Indonesia dapat mencapai 6000-7000 ton, sekarang menjadi 400 ton. Berdasarkan kajian potensi yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) produksi lobster pada tahun 2013 mencapai 16.482 ton, produksi kepiting pada tahun 2014 sebesar 33.277 ton, dan produksi rajungan pada tahun 2014 sebanyak 52.369 ton. Misalnya saja berdasarkan kajian potensi produksi lobster per tahun harusnya 7.759 ton/tahun. Jadi angka-angka tersebut sudah terlampau jauh dari jumlah produksi yang seharusnya. Menurut Kepala Balitbang KP Ahmad Purnomo, Untuk lobster saja ada beberapa wilayah yang sudah masuk kategori merah (jumlah populasinya menurun) di antaranya di Samudera Hindia bagian barat, pantai barat Sumatera, pantai utara Papua, Laut Jawa, dan Laut Natuna. Selain itu, ekspor lobster, kepiting, dan rajungan ukuran 20-50 gram setiap tahunnya bisa mencapai 5 juta ekor ke Vietnam.
Bagaimana orang tidak melakukan eksploitasi jika sebagai contoh kepiting ukuran 500 gram dalam kondisi bertelur harganya mencapai Rp 100.000 ? Sehingga dapat dimaklumi pandangan Ibu Menteri yang mengkhawatirkan potensi komoditas tersebut yang dapat menurun jika tidak dibatasi penangkapannya. Namun jika kepiting itu tidak ditangkap, dibiarkan bertelur dan besar di alam, maka dapat menghasilkan 5.000 kali atau setara dengan 5 ton kepiting. Alasan yang disampaikan Ibu Susi ini tentu dapat diterima untuk tetap mempertahankan eksistensi dari komoditas-komoditas tersebut.
Maka dalam PERMEN Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2015 tentang larangan penangkapan kepiting, rajungan, dan lobster bertelur telah diatur beberapa hal seperti ukuran dan berat spesies tersebut yang boleh ditangkap dan cara pengukurannya. Berikut ukuran dan berat ketiga spesies yang dicantumkan:
- Lobster (Panulirus ) dengan ukuran panjang karapas >8 cm (di atas delapan sentimeter) atau dengan berat 300-400 gram;
- Kepiting (Scylla ) dengan ukuran lebar karapas >15 cm (di atas lima belas sentimeter) atau dengan berat 350-450 gram; dan
- Rajungan (Portunus) dengan ukuran lebar karapas >10 cm (di atas sepuluh sentimeter) atau dengan berat 350-450 gram.
Berat tersebut sudah berlaku untuk periode Januari 2016 dan seterusnya. Selain pembatasan penangkapan tiga spesies tersebut berdasarkan ukuran, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga melarang penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan yang bertelur.
Bagaimana jika penangkapan lobster, keriting, dan rajungan untuk kegiatan penelitian? Ternyata di dalam kebijakan tersebut disebutkan bahwa larangan dan pembatasan penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan dikecualikan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan dan pendidikan. Hal ini yang harus diperhatikan oleh civitas akademika seperti kita, khususnya mahasiswa dengan fokus kajian ketiga spesies tersebut. Mungkin penangkapan untuk dijadikan sampel tidak sebanyak penangkapan yang dilakukan untuk produksi, namun kita harus tetap mematuhi kebijakan terkait penangkapan lobster (Panulirus spp.), kepiting (Scylla spp.), dan rajungan (Portunus spp.), karena pada dasarnya mahasiswa merupakan agen perubahan dan seharusnya hal ini sudah mulai diterapkan dan disosialisasikan kepada masyarakat, khususnya masyarakat perairan yang bermatapencaharian sebagai nelayan lobster, kepiting, dan rajungan. Dan tentu saja lebih baik kita sebagai mahasiswa melakukan penelitian yang dapat meningkatkan reproduksi spesies-spesies tersebut.
Namun, terlepas dari ketiga spesies tersebut, sudah sepantasnya penangkapan pada hewan-hewan apapun itu diberi batasan agar tidak terjadi eksploitasi.
Lebih kurang, hanya hal di atas yang dapat saya utarakan terkait eksploitasi salah tiga komoditas laut Indonesia. Saya rasa masih banyak hal-hal yang harus dipikirkan secara kritis terlebih untuk kita mahasiswa terkait isu-isu hangat negara kita, khususnya isu kelautan. Salam Sahabat Nelayan.
- Author : Fitria Kurnia Nazira (DXV)
©Divisi Media dan Informasi KSK Biogama 2016