“Blue Carbon dan Pemanasan Laut: Selamatkah Biodiversitas Kita?”

Kondisi bumi saat ini telah mengalami banyak perubahan. Berdasarkan data BMKG, El Nino menjadi pengaruh utama pemanasan yang saat ini terjadi. Kenaikan suhu rata-rata di bumi meningkat secara signifikan hingga melebihi threshold (1,5°C). Menurut Analis dan Prakirawan iklim Staklim Yogyakarta, Andriyas Aryo Prabowo menyampaikan bahwa pemanasan yang saat ini terjadi tidak serta merta bersumber dari efek rumah kaca tetapi juga disebabkan oleh El Nino. Menurutnya, El Nino mengakibatkan terjadinya kenaikan suhu udara yang cukup signifikan seperti yang teramati pada tahun 2016, 2019, dam 2020. Pemanasan global atau yang saat ini telah menjadi “global boiling” tentunya juga berkaitan dengan suhu di lautan. Meskipun tidak dibahas secara lebih lanjut, kenaikan suhu di laut relatif sama dengan daratan. 

Pemanasan laut tentunya dapat berakibat pada ekosistem yang ada di lautan. Setiap organisme memiliki batas toleransi terhadap pemanasan yang terjadi. Hal tersebut lebih lanjut disampaikan oleh Kak Citra selaku konservasionis. Menurutnya, peningkatan suhu di ekosistem laut berpengaruh terhadap kondisi fisiologis berbagai organisme. Selain itu, kenaikan suhu air akan berpengaruh terhadap peristiwa bleaching akibat lepasnya polip-polip dari karang. Peningkatan suhu juga dapat menyebabkan sea level rised yang mempengaruhi ekosistem mangrove. Peningkatan permukaan air yang terlalu tinggi menyebabkan mangrove akan terendam air laut lebih tinggi. Selain itu, pemanasan global juga dapat menyebabkan peningkatan curah hujan dan berakibat pada terakumulasinya sedimen ke laut. Penumpukan sedimen dapat menimbun populasi lamun di lautan. Kondisi tersebut dapat merusak kehidupan populasi lamun. Lamun dan mangrove merupakan bagian dari ekosistem blue carbon. Blue Carbon merupakan istilah penyebutan untuk suatu ekosistem yang mampu melakukan penyerapan dan penyimpanan karbon. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuan fotosintesis berbagai organisme tersebut. Berdasarkan data, mangrove mampu melakukan penyerapan karbon 4x lebih tinggi dibandingkan hutan tropis yaitu sebesar 1500 mg CO2/hektar (55%) sedangkan hutan tropis sekitar 270 mg CO2/hektar (45%).

Blue Carbon:

  1. Mangrove
  2. Gambut
  3. Seagrass

Populasi alga di laut belum dapat dikatakan sebagai ekosistem blue carbon karena populasi alga hanya mampu melakukan penyerapan dan belum mampu menyimpan karbon di dalam biomassanya. 

Potensi Ekosistem Blue Carbon di Yogyakarta

Di D.I Yogyakarta, ekosistem blue carbon dapat ditemukan:

  1. Hutan mangrove Baros, Bantul 
  2. Hutan Mangrove Kulonprogo
(a)
(b)

Gambar 1. Ekosistem Blue Carbon (a) Mangrove Baros, (b) Mangrove Kulon Progo (Anggotasari, 2014; BeritaSatu, 2016)

Menurut Ilham Herlian (ICCI UGM), pendekatan terhadap perubahan iklim dapat bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti nilai-nilai pribadi, pendidikan, pengalaman hidup, dan pandangan politik. Gambaran orang pesimis dan optimis dalam melihat perubahan iklim memiliki sudut pandang berbeda. Sebagai seorang aktivis, sikap yang umumnya dimiliki yaitu optimis. Sifat optimistik tersebut mampu mendorong keyakinan terhadap hasil yang akan dicapai. Sekecil apapun upaya melakukan perubahan lingkungan diyakini mampu mengubah keadaan di masa yang akan mendatang. Keyakinan pada kesadaran global juga mampu memotivasi tindakan kolaboratif sehingga mampu mencapai suatu tindakan atau solusi yang efektif.

Dengan adanya Forum Kajian Kelautan ini, pemaparan materi oleh narasumber dan diskusi forum diharapkan mampu menambah insight baru terkait kondisi yang saat ini sedang terjadi. Dengan demikian, teori dan aksi nyata sepantasnya dapat dilaksanakan untuk memulai perubahan ke arah yang lebih baik

%d bloggers like this: